Stress adalah suatu kondisi dimana keadaan tubuh
terganggu karena tekanan psikologis. Biasanya stress lebih dikaitkan dengan
kejiwaan daripada penyakit fisik. Akan tetapi pengaruh stress yang dialami
seseorang dapat memunculkan penyakit fisik karena tubuh akan menjadi lemah,
sehingga daya tahan tubuh seseorang akan berkurang (Ferawati & Amiyakun,
2015). Menurut Sarafino (1994), stress merupakan suatu kondisi yang dihasilkan
ketika transaksi antara individu dengan lingkungan menyebabkan individu
merasakan adanya ketidaksesuaian baik nyata maupun tidak antara tuntutan
situasi dengan sumber-sumber dari sistem biologis, psikologis, dan sosial yang
terdapat dalam diri individu. Sedangkan Schafer (2000) mengartikan stress
sebagai gangguan dari pikiran dan tubuh dalam merespon tuntutan-tuntutan (Dewi,
2009).
Menurut Potter dan Perry (2005), stress yang dialami
oleh seseorang dapat mengakibatkan penyesuaian yang buruk, penyakit fisik, dan
ketidakmampuan untuk mengatasi atau coping
terhadap masalah yang individu alami. Dalam sejumlah penelitian yang
dilakukan oleh Zuyina dan Siti (2008), menunjukkan bahwa terdapat suatu
hubungan antara peristiwa kehidupan yang menegangkan atau penuh stress dengan
berbagai kelainan fisik dan psikiatrik (Ferawati & Amiyakun, 2015).
Dampak yang timbulkan apabila seseorang mengalami
stress adalah menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang. Tubuh manusia pada
dasarnya dilengkapi dengan sistem kekebalan tubuh untuk mencegah serangan
penyakit. Sistem kekebalan tubuh ini bekerja untuk menjaga keseimbangan tubuh,
baik fisik maupun psikis yang cara kerjanya diatur oleh otak. Oleh karena itu,
sistem kekebalan tubuh seseorang sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor
psikologis, seperti stress (Ferawati & Amiyakun, 2015).
Pada tingkat stress yang berat, seseorang memiliki
kemungkinan untuk menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri, dan harga
diri. Hal ini mengakibatkan seseorang lebih banyak menarik diri dari
lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa individu lakukan, jarang
berkumpul dengan orang lain, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah
marah, dan cenderung lebih mudah emosi. Selain itu, respon negatif yang
ditunjukkan oleh lingkungan kepada individu akan membuat stress yang dialami
individu semakin bertambah. Hal ini dikarena persepsi yang dibayangkan oleh
individu yang mengalami stress mengenai lingkungan benar, sehingga individu
merasa dirinya kurang berharga dimata orang lain, kurang disukai, dan merasa
bahwa dirinya kurang beruntung (Ferawati & Amiyakun, 2015).
Stress sering dikaitkan dengan tekanan darah tinggi.
Studi kecil yang dilakukan pada tahun 2010 terhadap lima pasien hipertensi di
Yogyakarta menunjukkan bahwa ada permasalahan yang menyertai tekanan darah
tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustacchi (1990)
yang menyebutkan bahwa stress merupakan hal-hal yang bersifat emosional,
sosiokultural, dan okupasional yang berpengaruh terhadap hipertensi (Desinta
& Ramdhan, 2013).
Pinel (2009) mengatakan bahwa stress terjadi jika
seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai sesuatu yang
mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Dalam pandangan respon dua-sistem
yang dikemukakan oleh Pinel (2009), pada saat individu mengalami kronik stress,
tubuh yang mengalami stress terus menerus akan mengalami kelelahan dalam
memproduksi hormone adrenalin dan ephinephrine. Hal ini dapat memperburuk
kondisi tubuh sehingga dapat menjadi fatigue
dan penurunan sistem imunitas (Desinta & Ramdhan, 2013).
Robbins (2001) menyatakan bahwa stress dapat
berpengaruh positif maupun negatif. Stress yang membangun disebut sebagai eustress dan stress yang menjadi ancaman
disebut distress. Selain itu, Schafer
(2000) membagi stress menjadi tigas jenis, yaitu : (1) Neustress, merupakan jenis stress yang netral dan tidak merugikan,
(3) Distress, terjadi pada saat tuntutan
terlalu besar atau terlalu kecil. simptom distress dapat berupa berkurangnya
daya konsentrasi, tangan gemetar, sakit punggung, cemas, gugup, depresi, mudah
marah, dan mempercepat cara bicara . Gejala-gejala stress yang biasanya timbul
menurut Robbins (2001), dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1.
Gejala
fisiologis, stress dapat menciptakan perubahan dalam metabolism, meningkatkan
laju detak jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan
sakit kepala, dan menyebabkan serangan jantung.
2.
Gejala
psikologis, dalam hal ini stress dapat menyebabkan ketidakpuasan. Biasanya
stress dapat muncul dalam keadaan psikologis lain, seperti ketegangan,
kecemasa, mudah marah, kebosanan, dan suka menunda-nunda.
3.
Gejala perilaku,
gejala ini biasanya dikaitkan dengan perilaku yang mencakup perubahan dalam
produktivitas, absensi, dan tingkat keluarnya karyawan. Contoh lain misalnya
perubahan dalam kebiasaan makan, meningkatnya konsumsi alcohol dan rokok,
bicara cepat, gelisah, serta gangguan tidur (Dewi, 2009).
Sumber Bacaan :
Desinta, Sheni &
Neila Ramdhan. (2013). “Terapi Tawa untuk Menurunkan Stres pada Penderita
Hipertensi”. [Online]. Dalam Jurnal Psikologi,
Vol. 40, No. 1, Hlm. 15-27. Diunduh dari http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/159/pdf_30 (Diakses pada Selasa, 8 Maret 2016 pukul 19.27
WIB)
Dewi, Mahargyantari P.
(2009). “ Studi Metaanalisis : Musik untuk Menurunkan Stress”. [Online]. Dalam
Jurnal Psikologi, Vol. 36, No. 2, Hlm
106-115. Diunduh dari http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/45 (Diakses pada Rabu,
9 Maret 2016 pukul 09.15 WIB)
Ferawati & Sti
Amiyakun. (2015). “Pengaruh Pemberian Terapi Musik Terhadap Penurunan Kecemasan
dan Tingkat Stress Mahasiswa Semester VII Ilmu Keperawatan dalam Menghadapi
Skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Husada Bojonegoro”.
[Online]. Dalam Jurnal Jumakia, Vol.
1, No. 1, Hlm 1-9. Diunduh dari http://www.stikesicsada.ac.id/jurnal/index.php/jmakia/article/view/1/1 (Diakses pada Selasa, 8 Maret 2016 pukul 19.07 WIB)
No comments:
Post a Comment